KONDISI JAZIRAH
ARAB DAN PERADABAN PRA ISLAM
A.
Definisi Jazirah
Arab
Secara
etimologi, kata "Jazirah" berasal dari bahasa Arab yang berarti
kepulauan, yang menggambarkan wilayah-wilayah yang dikelilingi oleh air,
seperti Jazirah Arab yang dikelilingi oleh Laut Merah, Teluk Persia, dan Laut
Arab. Sementara itu, istilah "Arab" juga memiliki akar kata dalam
bahasa Arab, yakni "arabia," yang bermakna gurun pasir atau sahara.
Hal ini sesuai dengan kondisi geografis Jazirah Arab yang didominasi oleh
padang pasir luas, seperti Rub' al Khali, salah satu gurun terbesar di dunia.
Friedrich Nuldeke, seorang orientalis asal Jerman, menyebutkan bahwa nama ini
mencerminkan kondisi topografi wilayah yang gersang dan sulit dihuni. Namun, Muhammad
Hasyim Athiyah menawarkan perspektif lain dengan mengaitkan istilah
"Arab" pada kata "abar," yang berarti perjalanan atau
pengembaraan. Pendapat ini memperlihatkan aspek budaya dan gaya hidup
masyarakat Arab yang sering berpindah-pindah, terutama para kafilah pedagang
dan kelompok nomaden seperti suku Badui, yang terbiasa mengarungi padang pasir
dalam mencari sumber air dan rumput bagi ternak mereka.
B.
Geografis Jazirah
Arab
Sebagian besar
wilayah Arab terdiri dari padang pasir Sahara yang memiliki karakteristik
beragam dan terbagi menjadi tiga bagian utama. Pertama, Sahara Langit atau
Sahara Nufud, yang membentang 140 mil dari Utara ke Selatan dan 180 mil dari
Timur ke Barat, dengan oase dan mata air yang langka serta sering dilanda kabut
debu akibat tiupan angin, membuatnya sulit dijelajahi. Kedua, Sahara Selatan
atau ar-Rub alKhali, yang menghubungkan Sahara Langit hingga ke Selatan Persia,
didominasi oleh daratan keras, tandus, dan pasir bergelombang yang hampir tidak
berpenghuni. Ketiga, Sahara Harrat, berupa hamparan tanah liat berdebu hitam
menyerupai bekas terbakar, dengan gugusan batu hitam yang tersebar di 29
wilayah, menciptakan pemandangan yang unik dan kontras.
Secara
geografis, Arab tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah kepulauan karena dari
keempat sisi perbatasannya, terdapat satu sisi yang tidak berbatasan dengan
laut. Sebelah utara Jazirah Arab berbatasan dengan Gurun Iran dan Gurun Syiria,
sementara bagian selatannya berbatasan dengan Samudra Hindia. Di sisi barat,
wilayah ini bersebelahan dengan Laut Merah, sedangkan di sisi timur berbatasan
dengan Teluk Persia. Secara lokasi, Jazirah Arab terletak di barat daya benua
Asia dan terbagi menjadi dua wilayah utama, yakni bagian tengah dan bagian tepi
(Haikal, 2008) . Jazirah Arab bagian tengah terdiri dari tanah pegunungan yang
tandus, sehingga penduduknya, dikenal sebagai suku Badui, hidup secara nomaden
dengan berpindah-pindah mencari 2 daerah subur untuk memenuhi kebutuhan ternak
mereka. Mereka mendiami gurun pasir, seperti wilayah Najed dan al-Ahqaf, dengan
gaya hidup yang bebas, enggan menetap, dan bercocok tanam, sehingga tidak
berkembang kebudayaan maupun peradaban di wilayah tersebut. Kehidupan di lingkungan
yang keras menjadikan mereka berani, tetapi keberanian ini kerap disalahgunakan
untuk memerangi penduduk daerah subur, sehingga peperangan memperebutkan lahan
subur sering terjadi di antara masyarakat di wilayah tengah ini.
Adapun keadaan
Jazirah Arab bagian tepi, terdiri dari tanah yang subur karena curah hujan
cukup, dan penduduknya bukanlah pengembara. Wilayah ini adalah Yaman, Hijaz,
Oman, Hadramaut. Karena mereka menetap, maka mereka berhasil menciptakan
berbagai bentuk dari kebudayaan, mendirikan kerajaan-kerajaan, di antaranya
adalah kerajaan Saba’ yang terkenal dengan kepemimpinannya, yaitu ratu Bulqis,
kerajaan Himyar Manadhirah, dan kerajaan Chassniyah. Gurun pasir sekitar
Makkah, tempat kelahiran Islam adalah tempat yang tidak ramah, dan
memperlihatkan cara hidup yang primitif. Philip K. Hitti dalam karyanya yang
terkenal, History of The Arabs, dengan jelas menggambarkan, permukaan Arab
hampir seluruhnya gurun pasir dengan daerah sempit yang dapat dihuni di sekitar
pinggiran. Ketika jumlah penduduknya bertambah melampaui kapasitas tanah yang
dapat menampungnya mereka harus mencari tanah yang luas. Tetapi mereka tidak
dapat bergerak ke dalam karena gurun pasir atau keluar karena adanya laut.
Keduanya merupakan batas-batas yang diklaim masa pra Islam hampir tidak dapat
dilalui. Mereka kemudian menemukan satu jalan terbuka menuju Tepi Barat
semenanjung Arab dan terus menuju Arab Utara dan semenanjung Sinai dan berakhir
di lembah sungai Nil (K. Hitti, 2013).
Secara
geografis, Jazirah Arab adalah wilayah padang pasir yang keras, dengan
komunitas yang tersebar dalam bentuk suku-suku (tribal). Suku-suku ini menjadi
unit sosial utama, di mana loyalitas kepada suku melebihi komitmen terhadap
entitas yang lebih besar. Secara politik, Jazirah Arab tidak memiliki
pemerintahan pusat, melainkan diperintah oleh kepala suku (syekh) yang
dihormati berdasarkan keberanian, kebijaksanaan, dan kemampuan memimpin.
Konflik antar suku sering terjadi, dipicu oleh persaingan atas sumber daya
seperti air dan padang gembalaan. Dalam aspek ekonomi, terdapat dua pola utama:
kehidupan nomaden para badui yang bergantung pada penggembalaan, dan kehidupan
menetap di kota-kota seperti Mekkah dan Yathrib (Madinah) yang menjadi pusat
perdagangan.
C.
Bangsa-bangsa di
Jazirah Arab
Syaikh
Shafiyyurahman Al Mubarakfuri ( dalam buku Al Rahiqul Makhtum (Sirah
Nabawiyah), membagi kaum-kaum bangsa Arab menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Arab Ba'diah (Arab Kuno),
yaitu kaum-kaum bangsa Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara
rinci dan komplit, Seperti Ad, Tsamud, Thasm, Jadis, Imlaq, dan Jurhum kuno.
Sebagai pendapat mengatakan mereka keturunan Iram bin Syam bin Nuh As.
2. Arab Aribah (Arab Asli/ Arab
Qathaniah), yaitu kaum-kaum bangsa Arab yang berasal dari keturunan Ya'rub
Yasyjub bin Qahthan, keturunan Nabi Hud As. Tempat kelahiran Kaum Qathan adalah
negeri Yaman. Suku arab asli terdiri dari dua suku, yaitu;
a) Kabilah Himyar, yang terdiri
dari beberapa suku terkenal Zaid al Jumhur, Qudha'ah dan Sakasik,
b) Kahlan, yang berdiri dari
beberapa suku terkenal, yaitu Hamdan, Ammar, Thayyi', Madzhij, Kindah, Lakham,
Judzam, Uzd, Aus, Khazraj, dan anak keturunan Jafnah raja Syam.
3. Arab al-Musta'ribah (Arab
Pendatang/ Arab Adnaniyah), yaitu kaum-kaum bangsa Arab yang berasal dari
keturunan Isma'il putra Nabi Ibrahim As, yang berasal dari sebuah daerah Ar,
berada di pinggir sungai Eufrat, berdekatan dengan Kufah, Irak. Ibu Ismail
bernama Hajar putri Fir'aun, Mesir, yang dihadiahkan kepada Sarah untuk menjadi
pembantu. Ismail menikah dengan putri Mudhah bin Amru (Pemimpin Kabilah
Jurhum). Dan dikaruniai dua belas putra, yaitu Nabat atau Nabuyuth (di Hijaz
Utara, menjadikan Al Bathra sebagai ibu kotanya), Qaidar (di Mekah, beranak
pinak hingga menurunkan Adnan dan Anaknya Ma'ad), Adbail, Mibsyam, Misyma,
Duma, Misya, Hadad, Taima, Nafis, dan Qaiduman. Sedangkan Ma'ad bin Adnan punya
putra bernama Nizar, yang memiliki empat anak, yaitu: Iyad, Anmar, Rabi'ah, dan
Mudhar. (Kitab Al Rahiqul Makhtum, h. 2-7)
Nabi Muhammad Saw termasuk kabilah Quraisy. Quraisy
merupakan Kabilah besar yang terdiri dari 12 kabilah ;
1) Bani Abdul Manaf,
2) Bani Abdud Dar ibnu
Qushay,
3)Bani Asad ibnu Abdul Uzza ibnu
Qushay, 4)Bani Zahrah ibnu Kilab,
5)Bani Makhzum ibnu Yaqzhah ibnu
Murrah,
6)Bani Taim ibnu Murrah,
7)Bani Addy ibnu Ka'b,
8)Bani Sahm ibnu Hushaish ibnu
'Amr ibnu Ka'b,
9)Bani 'Amr ibnu Luay,
10) Bani Taim ibnu Ghalib,
11) Bani al Harits ibnu Fihr, dan
12) Bani Muharib ibnu Fihr (Kitab
Nurul Yakin Sirat Sayidil Mursalin)
Sedangkan Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfuri ( dalam
buku Al Rahiqul Makhtum (Sirah Nabawiyah), membagi Quraisy menjadi beberapa
kabilah, yang terkenal, yaitu; 1) Jumuh, 2) Sahm, 3) Adi, 4) Makhzum, 5) Taim, 6)
Zuhrah, dan suku-suku Qushay bin Kilab, Yaitu 7) Abdur-Dar bin Qushay, 8) Asad
bin Abdul Uzza bin Qushay dan Abdul Manaf bin Qushay, mempunyai empat anak; 9) Abdi
Syams, 10) Naufal, 11) Al Muthalib dan 12) Hasyim. Hasyim adalah keluarga yang
dipilih oleh Allah bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim.
(Kitab Al Rahiqul Makhtum, h.7)
Bangsa-bangsa
Yahudi mempunyai dua latar belakang berbeda migrasi mereka ke Jazirah Arab :
1.
Pada tahun 587 SM, Ada
peristiwa penaklukan bangsa Babilonia dan Asyur di Palestina dipimpin oleh
Bukhtanashar. Banyak di antara mereka yang ditawan dan dibawa ke Babilonia.
Sebagian mereka pergi menuju Hijaz bagian utara
2.
Pada tahun 70 M, ada invasi
bangsa Romawi terhadap Palestina, yang disertai tekanan terhadap Bangsa Yahudi
dan Penghancuran Haikal-haikal mereka, sehingga mereka berpindah ke Hujaz, lalu
menetap di Yastrib, Khaibar dan Taima. Kabilah-kabilah Yahudi yang terkenal
adalah Khaibar, Nadhir, Mushthaliq, Quraizah, dan Qainuqa (Sirah Nabawiyah)
D.
Peradaban Bangsa
Arab Pra Islam
Dilihat dari
perspektif sosiologis dan antropologis, masyarakat Arab memiliki tingkat
solidaritas dan budaya yang sangat tinggi. Solidaritas tersebut tampak jelas
dalam kehidupan masyarakat Arab di padang pasir, khususnya pada komunitas
Badui. Mereka memiliki rasa kesukuan yang kuat, di mana sukuisme menjadi
mekanisme utama untuk melindungi keluarga dan anggota suku. Suku atau kabilah
berfungsi sebagai pengikat, baik melalui hubungan darah (keturunan) maupun
ikatan kesukuan. Kabilah bertanggung jawab melindungi anggotanya, termasuk
mereka yang memilih bergabung atau meminta perlindungan. Jika ada anggota
kabilah atau pengikutnya yang mengalami penindasan atau pelanggaran hak, maka
menjadi kewajiban kabilah untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka. Tingginya
peradaban bangsa Arab juga terlihat dari kerajaan-kerajaan yang pernah berjaya
di wilayah Yaman. Dari keturunan Bani Qathan, berdirilah kerajaan-kerajaan
besar di daerah tersebut, seperti Ma’in, Qutban, Saba’, dan Himyar, yang
menjadi simbol kejayaan budaya bangsa Arab.
a. Kerajaan Ma’in (Ma’niyah)
Kerajaan Ma’in
ini berdiri kira-kira 1200 th SM., di Yaman. Kerajaan Ma’in ini didirikan oleh
suku Ma’in, yaitu suatu suku yang terbilang besar di antara suku-suku dari Bani
Qathan.
Kerajaan ini
telah memiliki kekuasaan yang besar dan kekayaan yang melimpah-limpah.
Penghidupan mereka terutama sekali ialah berniaga. Kekuasaan mereka pun
bersumber pada perniagaan. Mereka telah membangun kota-kota yang digunakan
sebagai stasiun perniagaan di sepanjang jalan yang melintasi Tanah Arab dari
selatan ke utara sampai ke Suriah. Stasiun ini berfungsi menyiapkan perbekalan
yang dibutuhkan para khalifah serta menjaga para khalifah dari serangan
perampok atau penyamun.
Bentuk
pemerintahan mereka adalah monarki yang demokratis. Rajanya memerintah secara
turun-temurun kepada anak, dan kadang-kadang terdapat pula seorang raja
memegang kekuasaan bersama anaknya. Di samping raja ada majelis umum, sedang di
kota-kota dibentuk pemerintahan setempat.
b. Kerajaan Qutban
Kerajaan
Qutban berdiri di Yaman Selatan kurang lebih 1000 SM. Ibu kotanya Qutban.
Kerajaan Qutban ini mempunyai kedudukan penting dalam sejarah karena penguasaan
dan pengawasan mereka terhadap Selat Bab elMandeb. Selat Beb el-Mandeb termasuk
salah satu pusat perniagaan di masa itu.
c. Kerajaan Saba’
Kerajaan Saba’
berdiri kira-kira tahun 950 SM. Kerajaan Saba’ dibangun oleh rajanya yang
pertama yang bernama Saba’ Abdu Syam ibn Yasyjub ibn Ya’rub dan Qathan.
Oleh karena daerah Yaman adalah
daerah kering, karena tidak ada sebuah sungai pun mengalir di Yaman ini, dan
hujannya adalah hujan musiman yang hanya turun pada musim panas saja, maka oleh
raja Saba’ membangun sebuah bendungan air di dekat kota Ma’arib ini, yang
dikenal dalam sejarah dengan sebutan “Saddu Ma’arib” (Bendungan Ma’arib)
d. Kerajaan Himyar (Himyariyah)
Kerajaan
Himyar berdiri kira-kira tahun 115 SM. Didirikan oleh suku Himyar, sedang
asal-usul suku Himyar itu adalah seorang di antara saudarasaudara raja Saba’
pendiri kerajaan Saba’iyah. Kerajaan Himyariyah rajarajanya suka berperang dan
menyerang serta menaklukkan negara tetangga. Maka mereka mempunyai bala tentara
yang panglima-panglimanya suka memperluas daerah atau kawasan negaranya dengan
menyerang atau menaklukkan negara-negara lain. Mereka pernah memerangi Persia
dan Ethiopia (Habsyah) dan lain-lain.
Syammar
Yar’asy, salah satu raja Arab yang dikenal dalam sejarah, pernah menaklukkan
Irak, Persia, dan Khurasan, sebagaimana dicatat oleh sejarawan Arab. Kehidupan
sosial bangsa Arab juga tercermin dalam syair-syair mereka, yang memiliki dua
manfaat utama: sebagai seni yang dihargai tinggi dan sebagai cara memahami adat
istiadat serta budi pekerti bangsa Arab. Dalam budaya Arab, syair merupakan
seni yang sangat dihormati, dengan penyair menempati posisi terhormat dalam
masyarakat. Syair dapat memengaruhi status sosial seseorang, baik dengan
meninggikan derajatnya maupun menjatuhkan kehormatannya. Selain itu, syair dan
elemen keagamaan Badui mencerminkan dinamika masyarakat Arab yang politeis,
dengan keyakinan bahwa obyek alam dan peristiwa memiliki roh yang mampu
membantu atau mengganggu manusia.
E.
Kehidupan Sosial.
Politik dan Ekonomi di Jazirah Arab
1. Kondisi Sosial
Sementara itu,
peradaban pra-Islam merujuk pada perkembangan budaya, sosial, politik, dan
ekonomi yang berlangsung di kawasan Jazirah Arab sebelum munculnya agama Islam
pada abad ke-7 Masehi. Periode ini sering disebut sebagai zaman Jahiliyah, yang
secara harfiah berarti "zaman kebodohan," merujuk pada ketiadaan
wahyu dan nilainilai Islam. Namun, istilah ini tidak secara langsung mencerminkan
ketidakmampuan intelektual, melainkan menyoroti aspek-aspek kehidupan yang
dianggap tidak sejalan dengan prinsip Islam, seperti praktik penyembahan
berhala, ketidakadilan sosial, dan perilaku kekerasan. Masyarakat Arab
pra-Islam terdiri dari suku-suku yang hidup dalam sistem tribal, di mana
loyalitas terhadap suku menjadi hal yang utama. Struktur sosial didominasi oleh
elite suku, dengan kesenjangan yang signifikan antara kaum kaya dan miskin,
serta peran perempuan yang umumnya terbatas, meskipun beberapa wanita menonjol
dalam perdagangan dan puisi. Ekonomi masyarakat pada masa ini sebagian besar
berbasis pada perdagangan, terutama di kota-kota seperti Mekah dan Yaman, yang
menjadi pusat perdagangan regional dan jalur penting dalam rute perdagangan
internasional. Kebudayaan pra-Islam terkenal dengan sastra lisan, terutama
puisi, yang mencerminkan kehidupan sehari-hari, nilai-nilai suku, serta
penghormatan terhadap alam.
Bangsa Badui
tidak mempunyai agama formal tertentu. Mereka tidak menyembah Tuhan. Meskipun
mereka mempercayai adanya nasib. Mereka mempunyai sistem etika dan nilai
sendiri. dalam masyarakat nomad pedalaman, kolektivisme suku beserta aturan
perilaku yang tidak tertulis, jika diamati dengan cermat, mencegah timbulnya
pertentangan pribadi meskipun konflik antar suku telah menimbulkan permusuhan
dan peperangan dalam masyarakat suku. Karena kepentingan individu berada di
bawah kepentingan bersama (kolektif). Konflik antar individu jadi berkurang.
Oleh karena itu, masyarakat seperti ini tidak menghasilkan puisi tentang
pahlawan besar, karena tidak ada pertentangan individu yang menjadi syarat
terciptanya puisi tersebut. Puisi Jahilliyah (pra Islam) tidak menggambarkan
tentang konflik pribadi, tetapi berisi nyanyian kemenangan suku dan
pengekspresian etos keberanian, kemurahan hati, kehormatan dan keunggulan
keturunan (Antonio, 2009). Perang adalah jalan yang paling mudah bagi
kabilah-kabilah ini bila timbul perselisihan yang tidak mudah diselesaikan
dengan cara terhormat. Karena inilah timbul di kalangan kabilah-kabilah
tersebut sifat-sifat prestise, keberanian, suka menolong, melindungi tetangga
serta memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini makin kuat
apabila semakin dekat kepada kehidupan pedalaman.
Peristiwa-peristiwa
perang antar kabilah Arab itu diabadikan dalam banyak 5 gubahan syair atau
kisah yang diselingi dengan syair dengan maksud untuk membangga-banggakan
kabilah satu terhadap kabilah lain. Syair itu diwariskan secara turun temurun
secara lisan. Syair-syair dan prosa tersebut pada awal Islam dihimpun secara
tertulis pada abad II H./VIII M. dalam buku- buku terutama buku sastra.
Diriwayatkan Abu Ubaidah (w. 211 H.) telah menghimpun 1200 peristiwa perang di
dalam buku sastra yang kemudian menjadi referensi bagi yang datang sesudahnya.
Buku ini tidak ditemukan lagi, tetapi ditemukan pada penjelasanpenjelasan para
kritikus sastra atau sejarawan terhadap beberapa syair yang terdapat dalam buku
tersebut, seperti pada buku Sejarah Lengkap karya Ibnu al-Atsar dan pada buku
at-Taqd al- Farid (Kalung Unik) karya Ibnu Abd Rabbih (K. Hitti, 2013);
(Arifianto, 2020).
Perang antar
kabilah yang paling terkenal adalah perang Fujjar. Selain peperangan dalam
skala besar, antar anggota kabilah juga sering terjadi keributan dan
serangan-serangan kecil. Faktor yang melatari serangan mereka adalah karena
masalah pribadi, atau karena masalah yang menyangkut kehidupan mereka. Ketika
sebagian anggota kabilah sedang mendapatkan kelapangan makanan atau harta yang
melimpah, maka tak jarang anggota kabilah lain datang menyergap untuk merampas
atau merampoknya, baik di siang hari maupun di malam hari. Kemudian tempat
tinggal anggota kabilah yang dirampok tersebut ditinggalkan begitu saja
(Qal’aji, 1988). Meskipun dikenal dengan konflik antar-suku, masyarakat Arab
pra-Islam juga memiliki nilai-nilai kehormatan, keberanian, dan kemurahan hati
yang sangat dihargai. Secara keseluruhan, peradaban pra-Islam membentuk fondasi
budaya dan sosial yang menjadi latar belakang bagi kemunculan Islam, memberikan
konteks bagi transformasi besar yang terjadi di bawah ajaran Nabi Muhammad SAW.
2. Kondisi Politik
Penduduk Jazirah
Arab terbagi menjadi dua kelompok utama, yaitu penduduk kota dan penduduk
Badui. Kehidupan mereka diatur oleh adat kesukuan yang menjadi dasar hukum,
bahkan di lingkungan kerajaan seperti Yaman, Hairah, dan Ghassasanah. Setiap
kabilah memiliki aturan sendiri, dengan ikatan berdasarkan darah, nasab, dan
golongan. Undang-undang adat ini mengatur hubungan individu dan komunitas,
menegaskan solidaritas serta kesetiakawanan sebagai nilai utama. Pemimpin
kabilah dipilih dari kalangan mereka sendiri, dengan kriteria seperti 8
keberanian, karisma, dan wibawa. Hak moral seorang pemimpin mencakup
penghormatan, ketaatan, dan wewenang untuk memutuskan perkara, sedangkan hak
materialnya meliputi bagian dari harta rampasan perang. Sebagai imbalannya, pemimpin
kabilah bertanggung jawab memimpin dalam damai maupun perang, serta mengelola
perjanjian damai dan genjatan senjata.
Di Makkah,
kota suci tempat Ka’bah berdiri, pemerintahan awalnya dipegang oleh suku Jurhum
dan keturunan Ismail, putra Nabi Ibrahim. Kemudian, kekuasaan berpindah ke suku
Khuza’ah, lalu ke suku Quraisy di bawah kepemimpinan Qushai. Suku Quraisy
mendominasi urusan politik dan pengelolaan Ka’bah, menjadikan mereka pusat
kekuasaan di masyarakat Arab. Sepuluh jabatan penting di kota ini dibagi di
antara kabilah Quraisy, termasuk penjagaan kunci Ka’bah, pengelolaan mata air
Zamzam, penegakan hukum, dan jabatan administrasi keuangan. Pengelolaan ini
mencerminkan struktur politik dan administrasi yang tertata, mengamankan Makkah
sebagai pusat keagamaan dan perdagangan.
Untuk
melindungi para peziarah yang datang ke Makkah, dibentuklah pemerintahan yang
awalnya dipegang oleh dua suku, yaitu suku Jurhum sebagai penguasa politik dan
suku Ismail (keturunan Nabi Ibrahim as.) sebagai pengelola Ka'bah. Kekuasaan
politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di
bawah pimpinan Qushai, yang mengatur urusan politik serta pengelolaan Ka'bah
(Haikal, 2008).
Inilah kedudukan-kedudukan
jabatan suku Quraisy pra-Islam, yakni :
1. Al-Isar, atau penanganan tempat api berhala untuk pemberian
sumpah yang menjadi wewenang Bani Jumah
2. Tahjirul-Amwal, atau penanganan korban dan nadzar yang
disampaikan kepada berhala-berhala, begitu pula penyelesaian permusuhan dan
persahabatan, yang wewenang Bano Sahm
3. Permusyawratan, yang menjadi wewenang Bani Asad
4. Al-Asynaq, atau penanganan militer dan pasukan berkuda, yang
menjadi wewenang Bani Tamim
5. Hukuman atau pembawa panji kaum, yang menjadi wewenang Bani
Umayyah
6. Al-Qubah, atau penanganan militer dan pasukan berkuda, yang
menjadi wewnang Bani Makhzum
7. Duta, Menjadi wewenang Bani Adi
3. Kondisi Ekonomi
Kehidupan
ekonomi di Jazirah Arab dapat diketahui dari perniagaan yang dilakukan oleh
orang-orang Quraisy. Perniagaan di masa kerajaan Saba’ dan Himyar meliputi
perniagaan di laut dan di darat. Perniagaan di laut yaitu ke India dan
Tiongkok, dan perniagaan di darat ialah dalam Jazirah Arab. Masyarakat Arab
sangat buta dalam bidang industri. Mereka tidak menyukai bidang industri, dan
menyerahkannya untuk dikuasai orang-orang non Arab atau kaum bangsawan. Bahkan
ketika bermaksud untuk membangun Ka’bah mereka meminta bantuan seseorang yang
beragama Kristen Koptik.
Dalam bidang
pertanian dan perindustrian memang jazirah Arab kurang cocok, namun ia
merupakan kawasan yang sangat strategis, yaitu sebagai jalur persimpangan
antara Afrika dan Asia Timur. Pada waktu kawasan ini sangat strategis untuk
menjadi sentra bisnis tingkat internasional yang sangat maju. Mereka yang
terjun di dunia bisnis rata-rata tinggal di daerah perkotaan. Terutama kota
Makkah, ia menjadi pusat perdagangan yang luar biasa. Di samping itu juga,
tidak dipungkiri bahwa dalam pandangan masyarakat Arab kawasan ini merupakan
Tanah Haram. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak meliriknya, karena dari
kacamata bisnis kawasan ini sangat menguntungkan. Allah menggambarkan
keistimewaan Kota Makkah (Syuhbah, 1996).
Terkait di
bidang bisnis, bangsa Quraisy, kabilah terbesar di kawasan ini memiliki dua
musim perjalanan bisnis yang sangat masyhur. Pada musim dingin mereka melakukan
perjalanan dagang ke negeri Yaman. Sedangkan pada musim panas mereka melakukan
perjalanan niaga ke negeri Syam. Dengan aman, mereka melakukan perjalanan di
kedua musim tersebut Setelah negeri Yaman dijajah oleh bangsa Habsyi dan
kemudian oleh bangsa Persi, maka kaum penjajah itu dapat menguasai perniagaan
di laut. Akan tetapi perniagaan dalam Jazirah Arab berpindah ke tangan penduduk
Makkah, karena kaum penjajah itu tidak dapat menguasai bagian dalam Jazirah
Arab.
Ada
faktor-faktor yang menolong Makkah dapat memegang peranan dalam perniagaan.
Terutama orang-orang Yaman yang telah berpindah ke Makkah, sedang mereka
mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang perniagaan. Dalam pada itu kota
Makkah, dari hari ke hari bertambah masyhur, keberadaan bangunan Ka’bah, dan
jamaah haji pun berdatangan dari segenap penjuru Jazirah Arab tiap tahun.
Penduduk Arab suka merantau untuk berniaga, sebagai suatu usaha yang utama dan
sumber yang terpenting bagi penghidupan mereka. Dengan demikian perniagaan suku
Quraisy menjadi giat serta mendapatkan kemajuan dan kemasyhuran dan kemajuan
besar di dalam dan di luar Jazirah Arab (Qal’aji, 1988).
Makkah muncul
sebagai pusat kota karena lokasi yang berada di sepanjang rute perdagangan yang
membentang dari Arabia Selatan sampai Utara yang menjadi lalu lintas
perdagangan mulai dari Mediteranian, teluk Persia, Laut Merah melalui Jeddah
dan keluar ke Perbatasan Afrika. Kota Makkah menjadi semakin ramai karena
menjadi persinggahan para pedagang yang melakukan perjalanan dagang. Di lokasi
ini juga terdapat Ka’bah sebagai pusat peribadatan sejak zaman dahulu dan juga
terdapat sumur zam-zam.
F.
Agama Bangsa Arab
Pra Islam
Menurut Syaikh
Shafiyyurrahman Al Mubarakfuri dalam Sirah Nabawiyah terjemahan Kitab Al
Rahiqil Makhtum karyanya, Sekalipun masih sisa-sisa tauhida dan beberapa syiar
dari Agama Ibrahim, hingga muncul Amr
bin Luhay, pemimpin Bani Khuza’ah. Ia mengadakan perjalana ke Syam. Di sana, Ia
melihat penduduk syam menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai suatu
yang baik serta benar. Amr bin Luhay menganggap Syam adalah tempat para rasul
dan kitab. Ia pulang sambil membawa berhala Hubal dan diletakkan ke dalam
Ka’bah. Padahal berhala mereka yang paling dulu adalah Manat, yang ditempatkan
di Musyallal di tepi Laut Merah dekat
Qudaid. Kemudian mereka membuat Lata di Thaif dan Uzza di Wadi Nakhlah. Kisah
lain menceritakn bahwa Amr bin Luhay mempunyai pembantu dari jin. Jin ini
memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Num (Wud, Suwa, Yaghuts,
Ya’uq dan Nasr) terpendam di Jiddah. Amr bin Luhay ke sana dan mengangkatnya,
lalu membawa ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan
berhala-berhala tersebut kepada berbagai kabilah. Akhirnya berhala-berhala itu
Kembali ke tempat asalnya masing-masing, sehingga setiap kabilah dan setiap
rumah hampir pasti ada berhala dan patung. Tatkala Rasulullah saw menaklukkan
kota Mekah secara damai, di sekitar Ka’bah ada sekitar 360 berhala. Beliau dan
para sahabat mengahcurkan semua berhala dan melurkannya dari Masjidil Haram dan
dibakar.
Secara
keagamaan, masyarakat pra-Islam bersifat politeistik, menyembah berbagai
berhala yang sering disimpan di Ka'bah. Namun, terdapat minoritas Yahudi dan
Nasrani di beberapa wilayah, serta kelompok kecil yang mengikuti agama Hanif,
yaitu monoteisme murni yang dianggap mengikuti ajaran Nabi Ibrahim. Ka'bah di
Mekkah menjadi pusat ibadah bagi banyak suku, memperkuat peran kota tersebut
sebagai pusat spiritual dan ekonomi. Kondisi sosial pada masa ini juga
dicirikan oleh ketidakadilan, termasuk ketimpangan gender, praktik perbudakan,
dan perang yang berkepanjangan. Untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana
kondisi jazirah arab pra-Islam, bagian ini akan mengupas lebih dalam tentang
bagaimana agama dan peradaban bangsa arab pra-Islam, serta bagaimana konteks
sosial politik di Jazirah Arab pra-Islam.
Namun,
kepercayaan monoteisme perlahan berubah menjadi penyembahan berhala. Menurut
Ibnu Khalbi dalam kitab al Ashnam, perubahan ini berawal dari kebiasaan orang
Arab yang membawa batu dari sekitar Ka’bah saat meninggalkan Makkah, sebagai
bentuk cinta terhadap kota tersebut. Batu itu kemudian dipuja, seperti thawaf
di Ka’bah. Lama-kelamaan, batubatu ini dikumpulkan di sekitar Ka’bah, sehingga
penuh dengan berhala. Meski demikian, masih ada yang percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa (Allah), namun keimanan mereka tercampur dengan pemujaan berhala yang
dijadikan perantara dalam penyembahan. Fenomena ini mencerminkan perubahan
budaya dan keagamaan di tengah pergesekan antara peradaban Barat dan Timur.
Sebagaimana dilukiskan dalam Al-Qur’an:
مَا نَعبُدهم إلَّا لِيُقَرِّبونَا إِلَى اللَّه
زُلفَى .... ( الزمار: 3)
“.........Kami tidak
menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka (berhala-berhala itu)
mendekatkan kami kepada Allah sedekat-dekatnya............” (QS. Az-Zumar [39]:
3)
Keberagaman
agama bangsa Arab sebelum kedatangan Islam menunjukkan dinamika kepercayaan
yang kompleks, mencerminkan karakteristik sosial budaya masyarakat Arab saat
itu. Menurut Haikal (2008), Ka’bah menjadi pusat ibadah dengan berbagai patung,
mencapai 360 buah, yang melambangkan kepercayaan masing-masing kabilah dan
suku. Ini mencerminkan fenomena politeisme sebagaimana dijelaskan oleh Émile
Durkheim dalam teori sosiologi agama, bahwa kepercayaan agama sering kali
mencerminkan kebutuhan masyarakat untuk menstrukturkan dunia mereka melalui
simbolisme dan ritual kolektif. Dalam konteks Arab pra-Islam, penyembahan
terhadap benda-benda langit seperti matahari, bulan, dan bintang, hingga patung
dan api, merupakan manifestasi dari kebutuhan mereka untuk memahami fenomena
alam sebagai bagian dari religiositas mereka. Selain itu, hadirnya agama
Nasrani dan Yahudi di wilayah ini menunjukkan pengaruh lintas budaya dari
kawasan lain, sebagaimana dijelaskan oleh Arnold Toynbee dalam teori peradaban,
bahwa interaksi antara peradaban menghasilkan asimilasi budaya, termasuk agama.
Agama-agama besar seperti Zoroastrianisme di Persia (Majusi) dan Kristen di
Barat turut membentuk konfigurasi peradaban global yang memengaruhi Arab.
Dengan bergesernya Mesir dan Funisia ke dalam pengaruh agama Masehi, rintangan
antara peradaban Barat dan Timur mulai terkikis, memfasilitasi interaksi
langsung yang lebih intens. Ini sejalan dengan teori perubahan sosial Talcott
Parsons, yang menekankan bahwa perubahan dalam subsistem budaya, termasuk
agama, dapat mendorong integrasi sistem yang lebih luas.
Secara terus menerus, paham Masehi Barat dan
Majusi Timur berhadaphadapan secara langsung. Keduanya berusaha mempertahankan
kepercayaan masing-masing dengan sekuat tenaga, meskipun peperangan terus
terjadi. Namun, mereka menghindari mempengaruhi agama dan peradaban satu sama
lain. Di tengah dinamika ini, mayoritas penganut Yahudi di Timur Tengah bertani
dan membuat alatalat seperti perhiasan dan senjata, sementara penganut Kristen
terpengaruh oleh kebudayaan Hellenisme dan pemikiran Yunani. Aliran Kristen
yang berkembang di Jazirah Arab termasuk aliran Nesturian di Hirrah dan aliran
Jarob Barady di Ghasan, dengan Najran sebagai pusat Kristen yang subur dan
menjalin hubungan dengan Habasyah (Ethiopia), pelindung agama ini. Namun,
kesuburan wilayahnya dan kehidupan menetap penduduknya memicu gangguan,
terutama dari Raja-raja Yaman, termasuk keluarga Himyar hingga masa kekuasaan Dzu
Nuwas al-Himyari. Dhu Nuwas, yang cenderung pada Yudaisme setelah belajar dari
orang Yahudi di Yaman, menolak penyembahan berhala yang melanda bangsanya dan
dikenang dalam sejarah sebagai tokoh yang terlibat dalam kisah pembantaian
melalui parit. Dzu Nuwas mengepung dan membantai penduduk Yaman yang berAgama
Nasrani.
Pada tahun
525, Raja Najasy memerintahkan penaklukan Yaman dengan 70.000 pasukan orang
Habasyah dikomandoi oleh Aryath untuk Serangan balas dendam terhadap Dzu Nuwas
(orang Yahudi) dan pasukannya yang telah menyerang Kaum Nasrani dari Bani
Najran pada tahun 523 M. Pasukan Dzu Nuwas takluk dan tercerai-berai. Aryath
menjadi gubernur Yaman. kepemimpinan dikhianati oleh Abrahah yang Ambisius.
Aryath pun tewas ditangan Abrahah. Pengulingan paksa oleh Abrahah mendapatkan
restu Rajanya di Habasyah (Ethopia, Afrika).(Sirah Nabawiyah). Abrahah adalah
raja Yaman yang sangat ambius untuk menghancurkan Ka’bah. Peristiwa itu dikenal
dengan Tahun Gajah.
G.
Gambaran Bangsa Arab
Jahiliyah
Jahiliyah
berasal dari kata jahila-yajhilu yang berarti bodoh atau tiada tahu, kemudian
dalam struktur gramatikal bahasa Arab menjadi masdar yaitu jahiliyah berarti
kebodohan, keterbelakangan. Jahiliyah bisa juga berarti kebodohan atau
keterbelakangan dalam hal agama. Kata jahiliyah sendiri muncul setelah
datangnya Islam, kata jahiliyah muncul dikarenakan beberapa tata sosial budaya
bangsa Arab tidak sesuai dengan ajaran yang dibawa Islam.
Bangsa Arab pra
Islam adalah jahiliyah bila ditinjau dari segi ilmu pengetahuan, arsitektur,
sastra, kemajuan ekonomi dan lain sebagainya. Namun ada beberapa hal yang
menjadi bukti untuk menjustifikasi bahwa mereka adalah jahiliyah menurut Islam
maupun etika sosial saat ini adalah:
1. Kebiasaan membunuh anak perempuan karena takut lapar dan malu.
Alasan mereka bahwa anak perempuan adalah biang dari petaka adalah karena dari
segi fisik perempuan lebih lemah daripada laki-laki, ketika lemah secara
otomatis akan menjadi batu sandungan bagi sang ayah atau ketua kelompok dan
tidak bisa diajak berperang. Dan akan mengurangi pengaruh kabilahnya dalam
percaturan dunia, penghambat pembangunan, kurang bisa mandiri dan
menggantungkan pada laki-laki dan itu semua adalah aib bagi mereka maka harus
ditutupi dan kalau perlu dibuang. Dengan fenomena tersebut hak-hak perempuan
tidak terpenuhi bahkan tidak akan terpenuhi. Penghormatan dan pengagungan kaum
perempuan berubah menjadi pelecehan seksual dan psikologi. Peran perempuan
dikerdilkan menjadi masak, macak, manak atau sebagai simbol seks dan pelestari
nasab. Inilah salah satu yang ditentang Islam sesuai dengan firman Allah yang
artinya “sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling
bertaqwa”.
2. Kebiasaan berperang sesuai dengan karakteristik geografis yang
panas, tandus dan gersang akan membentuk karakter keras dan temperamental
sehingga mudah terprovokasi dan terpecah belah, di samping itu perang akan
membangun watak yang mudah curiga (paranoid), ambisius, dan trauma akut karena
melihat peristiwa- peristiwa yang tidak manusiawi secara langsung atau
mengalami peristiwa tersebut. Jika fenomena tersebut dipertahankan, maka
persatuan bangsa Arab sulit dicapai, kecuali ketika mereka mempunyai pimpinan
yang kuat. Kebiasaan berperang juga membangun watak yang waspada, teliti,
optimis, dan setia kawan sebab itu adalah termasuk strategi dasar dalam
berperang. Perang juga membuat orang jadi prihatin, tenggang rasa, dan
mempunyai daya tahan hidup yang kuat dalam menghadapi cobaan sebagai akibat
peperangan tersebut. Beberapa sifat di atas ternyata bangsa Arab mampu memimpin
dunia selama 17 abad. Atas alasan apapun perang adalah tidak sesuai dengan
ajaran Islam yang sangat menjunjung perdamaian meski dalam perbedaan sesuai
dengan petikan ayat Al-Qur’an yang artinya “Sesungguhnya Aku ciptakan kamu
dalam berbagai suku, bangsa untuk saling mengenal”.
3. Kebiasaan mereka menyembah sesuatu buatan mereka sendiri seperti
patung, atau menyembah matahari dan benda-benda lainnya yang mempunyai
kelebihan. Sebab dalam Islam hal tersebut adalah syirik atau menyekutukan
Tuhan. Dalam Islam Tuhan itu satu yaitu Allah sedang benda-benda tersebut
adalah ciptaannya dan merupakan tanda-tanda kebesaran Allah. sedang dalam Islam
Tuhan adalah satu yaitu Allah.
4. Abu Dawud Meriwayatkan dari Aisyah, bahwa pernikahan pada masa
jahiliyah ada empat macam :
1)
Pernikahan secara sepontan.
Seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali
Wanita, lalu ia menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
2)
Nikah Istibda’ , seorang
suami meminta istrinya yang baru suci dari haid untuk bersetubuh dengan lelaki
lain yang terkenal kecerdasannya atau ketampanannya agar punya anak yang tampan
atau cerdas.
3)
Nikah Poliandri : beberapa orang laki-laki
yang jumlahnya kurang dari sepuluh menggauli satu orang Wanita secara
bergantian kemudian Wanita itu hamil dan melahirkan anak. Si Wanita akan
memilih bapak si bayi atas dasar kehendaknya atau atas dasar kemiripan si bayi.
4)
Nikah Free Sex : Semua
laki-laki meniduri seorang Wanita pelacur. Si Wanita mencatat setiap laki-laki
yang menyetubuhinya. Setelah melahirkan, Wanita pelacur tersebut mengundinya ;
siapapun yang Namanya keluar dialah yang menjadi ayah si bayi dari Wanita
pelacur? (Sirah Nabawiyah)
5. Agama bangsa Arab bisa disebut humanisme suku artinya makna
kehidupan itu terwujud dalam keunggulan sifat manusia, yaitu semua kualitas
yang bisa sejalan dengan cita-cita kemanusiaan atau keberanian bangsa Arab.
Sifat keunggulan ini berada di tangan suku, bukan terletak di individu, hal ini
karena ia menjadi anggota suku. Yang menjadi tujuan setiap orang adalah menjaga
kehormatan suku. Kehidupan akan bermakna bagi dirinya jika kehidupan itu
terhormat dan semua tindakan yang menimbulkan aib dan rasa malu harus dihindari
sebisa mungkin. Landasan aturan sosial bangsa Arab pra Islam adalah fanatisme
rasial dan marga (Sirah Nabawiyah).
6. Nama-nama hewan suci yang dianggap dewa, tidak boleh diganggu
atau disakiti :
a)
Al Bahirah adalah Anak Unta betina yang telah
beranak sepuluh. Yang ke-11 dianggap dewa
b)
As-sabiah adalah onta
betina yang telah beranak sepuluh.
c)
Al Wasilah adalah domba betina yang mempunyai
lima anak kembar yang semuanya betina secara berurut-urut.
d)
Al Hami adalah onta Jantan
yang sudah membuntingi sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada
jantannya (buku Sirah Nabawiyah)
7. Mengundi Nasib dengan melempar Al Azlam (beberapa anak panah yang tidak ada bulunya) contohnya
: bertuliskan Ya atau Tidak atau Ath-Thiyarah (Burung atau Biri-biri).
Melepaskan burung merpati atau lainnya jika burung tersebut terbang ke kiri
bertanda buruk. Jika burung tersebut terbang kea rah kanan, bertanda baik (Buku
Sirah Nabawiyah).
8. Mereka percaya kepada perkataan peramal, Arraf atau paranormal
dan ahli nujum (Astrologi), yang mengaku bisa mengetahui rahasia ghaib, masa
depan atau berbagai masalah lewat
isyarat atau sebab yang memberikan petunjuk, dari perkataan, perbuatan, atau
keadaan orang bertanya kepadanya (Sirah Nabawiyah)
9. Bangsa Arab jahiliyah masih melaksakan Haji, Umrah dan wukuf di
Arafah dan Muzdalifah. Sebagian lainnya tidak memulai wukuf Ifadhah di tanah
Arafah tetapi memulainya dari Ifadhah wukuf di Mudzalifah. Bangsa Arab
pra-Islam sangat mengagung Ka’bah dan selalu meramaikan dengan Thawaf,
berkeliling di sekitar Ka’bah. Ada Sebagian yang thawaf sambil telanjang bulat
(Sirah Nabawiyah)
H.
Silsilah Nabi
Muhammad saw
Bentuk tradisi
Arab pra Islam yang mengandung informasi sejarah lainnya adalah al-Ansab (jamak
dari nasab: silsilah/geneology). Sejak masa jahiliyah orang-orang Arab sangat
memperhatikan dan memelihara pengetahuan tentang nasab. Ketika itu pengetahuan
tentang nasab ini merupakan salah satu cabang kajian yang dianggap penting.
Setiap kabilah hafal akan silsilahnya. Semua anggota keluarga menghafalkannya
agar tetap murni dan silsilah itu dibanggakan terhadap kabilahkabilah
lain(Arifianto, 2020).
Syaikh
Shafiyyurahman Al Mubarakfuri ( dalam buku Al Rahiqul Makhtum (Sirah Nabawiyah)
halaman 40-41 berkata bahwa ada tiga bagian tentang nasab Nabi Muhammad Saw:
1. Bagian yang disepakati
kebenarannya oleh pakar biografi dan nasab, yaitu ;
Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Muthalib (yang bernama Syaibah) bin Hasyim (yang bernama Amru) bin Abdul Manaf
(yang bernama Al Mughirah) bin Qushay (yang bernama Zaid) bin Kilab bin Murrah
bin Ka'b, bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr (yang berjuluk Quraisy) bin Malik bin
An-Nadhr (yang bernama Qais) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (yang
bernama Amr) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan.
2. Bagian yang mereka
perselisihkan yaitu nasab yang tidak diketahui secara pasti dan nasab yang
harus dibicarakan, yakni;
Adnan bin Udad bin Hamaisa' bin
Salaman bin Aush bin Bauz bin Qimwal bin Ubay bin Awwam bin Nasyid bin Haza bin
Baldas bin Yadlaf bin Thabikh bin Jahim bin Nahisy bin Makhi bin Aidh bin Abqar
bin Ubaid bin Ad-Da'a bin Hamdam bin Sinbar bin Yatsrib bin Yahzan bin Yahlan
bin Ar'awy bin Aid bin Daisyan bin Aishar bin Afnad bin Aiham bin Muqshir bin
Nahits bin Zarih bin Sumay bin Muzay bin Iwadhah bin Aram bin Qaidar bin
Isma'il bin Ibrahim
3. Bagian yang sama sekali tidak
diragukan bahwa di dalamnya ada hal-hal yang tidak bernar, Yaitu;
Ibrahim bin Tarih (yang bernama
Azar) bin Nahur bin Saru' atau Sarugh bin Ra'u bin Falakh bin Aibar bin Syalakh
bin Arfaksyad bin Sam bin Nuh bin Lamk bin Matausyalakh bin Akhnukh atau Idris
bin Yard bin Mahla'il bin Qainan bin Yanisya bin Syaits bin Adam
Sedangkan Syekh Muhammad Al Khudhari Bek dalam Kitab Nurul Yakin
Fi Sirati Sayidil Mursalin halaman 4-5, menulis kakek dan nenek Nabi Muhammad
Saw, Sebagai berikut;
1. Muhammad putra Abdullah,
dari istrinya bernama: Aminah Binti Wahab az-Zuhriyah (dari Bani Zahrah ibnu
Kilab Al Quraisy)
2. Putra Abdul Muthalib,
dari istrinya bernama: Fatimah binti 'Amr al-Makhzumiyah (dari Bani Makhzum
ibnu Yaqzhah ibnu Murrah Al Quraisy)
3. Putra Hasyim, dari
istrinya bernama: Salma binti 'Amran an-Najjariyah (Bani Najjar dari Kabilah
Khazraj)
4. putra Abdul Manaf,
dari istrinya bernama 'Atikah binti Murrah as-Sulamiyah (Bani Salim ibnu
Manshur dari Kabilah Qais ibnu 'Ailah ibnu Mudhar)
5. Putra Qushay, dari
istrinya bernama: Hubbiy binti Halil al-Khuza'iyah (Bani Khuza'ah ibnu 'Amr
dari Kabilah Qum'ah ibnu ilyas ibnu Mudhar)
6. Putra Kilab, dari
istrinya bernama: Fatimah binti Sa'd dari Negeri Yaman (Kabilah Azdsyanuah)
7. Putra Murrah, dari
istrinya bernama: Hindun binti Sarir (Bani Fihr ibnu Malik)
8. Putra Ka'ab, dari
istrinya bernama: Wahsyiyah binti Syaiban (dari kalangan Fihr)
9. Putra Luay, dari
istrinya bernama: Ummu Ka'ab ; Bariah binti Ka'ab (Kabilah Qudha'ah)
10. Putra Ghalib,
dari istrinya bernama Ummu Luay; Salma binti 'Amr al Khuza'iy
11. Putra Fihr (Quraisy),
dari istrinya bernama Ummu Ghalib; Laila binti Sa'd (Kabilah Hudzail).
12. Putra Malik, dari
istrinya bernama Jandalah binti Harb (Kabilah Jurhum)
13. Putra An-Nadhr,
dari istrinya bernama 'Atikah binti 'Adwan (Kabilah Qais 'Ailan)
14. Putra Kinanah,
dari istrinya bernama Barrah binti Mur ibnu Idd atau Udd.
15. Putra Khuzaimah,
dari istrinya bernama 'Awwanah binti Sa'd (Kabilah Qais 'Ailan)
16. Putra Mudrikah,
dari istrinya bernama Salma binti Aslam (Kabilah Qudha'ah)
17. Putra Ilyas, dari
istrinya bernama Khandaf (Wanita teladan dalam kehormatan dan Keperkasaan)
18. Putra Mudhar,
dari istrinya bernama Ar-Rabbah binti Jundah ibnu Ma'd.
19. Putra Nizzar atau
Nazzar, dari istrinya bernama Saudah binti 'Ak.
20. Putra Ma'd ,
dari istrinya bernama Mu'anah binti Jausyam (Kabilah Jurhum)
21. Putra Adnan keturunan
Nabi Ismail bin Nabi Ibrahim.
0 Komentar